Polemik Pembangunan Vila di Atas Laut Labuan Bajo: Antara Pariwisata dan Ancaman Lingkungan

Flores, iNewsalor.id - Pembangunan vila di atas laut di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), tengah menjadi sorotan. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, terutama terkait dampaknya terhadap lingkungan pesisir dan ekosistem laut yang menjadi daya tarik utama destinasi wisata super prioritas ini.
Dr. (C) Ir. Karolus Karni Lando, MBA, Lead Auditor ISO menegaskan bahwa tren pembangunan floating villas atau overwater villas di Labuan Bajo harus ditelaah secara mendalam. Menurutnya, pesatnya pertumbuhan infrastruktur dan akomodasi wisata tidak boleh mengabaikan prinsip tata ruang dan keberlanjutan lingkungan.
Pembangunan vila di atas laut dinilai dapat mengubah fungsi ruang perairan yang semestinya diperuntukkan bagi konservasi atau pemanfaatan terbatas. Hal ini bertentangan dengan prinsip Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang telah diatur dalam berbagai regulasi nasional dan daerah.
Badan Pelaksana Taman Nasional Komodo dan Perairan Sekitarnya (BPTNKPS) mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak ekologis dari proyek ini. Beberapa ancaman utama yang diidentifikasi antara lain:
Kerusakan habitat laut , terumbu karang dan padang lamun rentan terganggu akibat konstruksi dan aktivitas wisata.
Fragmentasi ekosistem pesisir, mobilitas organisme laut dapat terganggu akibat struktur bangunan yang menghalangi pergerakan alami biota.
Pencemaran laut, limbah domestik (grey water dan black water), sampah plastik, serta kebisingan dan polusi cahaya dapat merusak kualitas ekosistem laut.
Selain itu, peningkatan aktivitas kapal wisata juga menimbulkan ancaman serius, mulai dari kerusakan terumbu karang akibat jangkar, pencemaran dari bahan bakar dan oli, hingga gangguan terhadap populasi ikan dan mamalia laut.
Jelasnya, pembangunan vila di atas laut tidak bisa dilakukan sembarangan. Sejumlah regulasi yang harus dipatuhi meliputi:
UU No. 27 Tahun 2007 jo. UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
PP No. 32 Tahun 2019 tentang Rencana Tata Ruang Laut
Permen KP No. 23 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Permen LHK No. 4 Tahun 2021 tentang Daftar Usaha Wajib AMDAL
Selain itu, proyek ini juga harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan RZWP3K NTT, serta regulasi daerah Kabupaten Manggarai Barat.
Kata politisi Perindo itu, sebagai langkah mitigasi, diperlukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa proyek ini tidak merusak keseimbangan ekosistem. KLHS harus mencakup, analisis daya dukung lingkungan, Identifikasi zona konservasi dan pemanfaatan terbatas, pengendalian perubahan tata ruang untuk mencegah dampak kumulatif.
Selain KLHS, proyek pembangunan vila di atas laut juga wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), yang mencakup, studi kualitas air, arus laut, dan ekosistem laut, partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan, rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan (RKL-RPL).
Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan langkah konkret agar pengembangan wisata tetap selaras dengan keberlanjutan lingkungan. Beberapa rekomendasi strategis yang dapat diterapkan:
Moratorium Pembangunan, menghentikan sementara proyek vila di atas laut hingga kajian lingkungan selesai dilakukan.
Penegakan Hukum, menindak tegas pembangunan ilegal di zona konservasi sesuai peraturan yang berlaku.
Revisi RZWP3K , meninjau ulang peta zonasi wilayah pesisir dan perairan, serta memperkuat koordinasi dengan KLHK dan KKP.
Pembangunan Berbasis Daratan – Mengalihkan proyek vila ke daratan dengan sistem pengelolaan limbah tertutup dan ramah lingkungan.
Pengawasan Kapal Wisata, mengatur area tambat kapal, penggunaan pelampung apung, serta edukasi bagi operator wisata bahari
Pembangunan vila di atas laut di Labuan Bajo memang menjanjikan peningkatan ekonomi dan daya tarik wisata. Namun, jika tidak dikelola dengan bijak, hal ini justru bisa merusak kekayaan ekosistem yang menjadi daya tarik utama destinasi ini. Oleh karena itu, keseimbangan antara pembangunan dan konservasi harus menjadi prioritas utama agar Labuan Bajo tetap lestari dan berkelanjutan.
Editor : Danyy Manu