IJTI Serukan Perlindungan Jurnalis, Perkuat Kemerdekaan Pers, dan Wujudkan Kedaulatan Informasi

Jakarta, iNewsAlor.id — Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyerukan perlindungan terhadap jurnalis, penguatan kemerdekaan pers, dan terwujudnya kedaulatan informasi nasional dalam momentum peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day yang diperingati setiap 3 Mei.
Dalam rilis resmi yang ditandatangani Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, dan Sekretaris Jenderal Usmar Almarwan, IJTI menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi ekosistem pers nasional yang dinilai tengah menghadapi tantangan berat, baik dari sisi keamanan jurnalis, tekanan ekonomi, hingga ketimpangan regulasi di tengah arus digitalisasi global.
“Ancaman terhadap keselamatan jurnalis di lapangan masih kerap terjadi, mulai dari intimidasi, kekerasan fisik, hingga kriminalisasi dalam menjalankan tugas jurnalistik,” kata Herik Kurniawan. Ia menegaskan, kondisi ini diperparah dengan tekanan ekonomi yang menghimpit para pekerja media di tengah ketidakpastian industri pers nasional.
Menurut Ketua IJTI, kondisi perusahaan media konvensional yang menghadapi perampingan besar-besaran dan efisiensi anggaran mencerminkan situasi serius yang tidak boleh diabaikan. Mereka meminta perhatian dan aksi nyata dari pemerintah serta seluruh pemangku kepentingan untuk menciptakan ekosistem pers yang adil dan berkelanjutan.
Dalam pernyataan sikapnya, IJTI menegaskan delapan poin penting, yakni:
1. Menyerukan perlindungan menyeluruh terhadap keselamatan jurnalis di lapangan. Negara dan aparat penegak hukum diminta untuk menjamin keamanan dan kebebasan jurnalis dalam bekerja, tanpa intimidasi, kekerasan, atau ancaman hukum yang bersifat represif.
2. Menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis dan produk jurnalistik. IJTI mengecam penggunaan pasal-pasal karet dalam undang-undang yang dapat menjebak jurnalis saat menyampaikan informasi kepada publik. Produk jurnalistik yang dilindungi oleh UU Pers seharusnya tidak menjadi objek pemidanaan.
3. Mendesak pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memperbaiki ekosistem industri media. IJTI mendorong adanya regulasi dan insentif nyata agar industri media tetap berjalan secara profesional dan berkelanjutan.
4. Mendorong perusahaan media untuk memprioritaskan kesejahteraan jurnalis. Di tengah situasi sulit sekalipun, perusahaan media tetap memiliki kewajiban moral dan profesional untuk menjamin hak-hak jurnalis, termasuk upah layak, kepastian kerja, dan jaminan sosial.
5. Meneguhkan komitmen IJTI dalam memperjuangkan kemerdekaan pers dan etika jurnalistik. IJTI menyatakan siap menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas profesi jurnalis dan menolak segala bentuk intervensi yang mengancam independensi pers.
6. Mendukung kedaulatan informasi nasional. IJTI mendorong regulasi yang adil dan sehat antara media konvensional dan media baru, untuk memastikan publik menerima informasi akurat, adil, dan bebas dari monopoli algoritma platform global.
7. Mendesak pemerintah segera membuat regulasi setara antara media konvensional dan media digital. Kesenjangan distribusi dan ekonomi informasi antara media lokal dan platform raksasa digital dinilai merusak kompetisi dan mengancam kelangsungan hidup media nasional.
8. Mengajak masyarakat turut mendukung kebebasan pers. IJTI menekankan pentingnya partisipasi publik dalam menjaga ruang informasi yang sehat serta melawan disinformasi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif membangun demokrasi.
Sekretaris Jenderal IJTI, Usmar Almarwan, menambahkan bahwa kemerdekaan pers bukan hanya hak jurnalis, tetapi milik seluruh rakyat Indonesia. “Melalui peringatan World Press Freedom Day ini, mari kita perkuat solidaritas dan komitmen bersama untuk menjaga kemerdekaan pers sebagai pondasi utama demokrasi dan kemajuan bangsa,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan kembali posisi IJTI sebagai organisasi profesi yang terus memperjuangkan kebebasan pers, perlindungan jurnalis, serta keadilan dalam industri media nasional, khususnya di tengah era digital yang terus berubah cepat dan menuntut adaptasi kebijakan.
Editor : Danny Manu