Soe, iNewsAlor.id – Yohanes Tamonob, warga Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur, mengungkap fakta mengejutkan di Pengadilan Negeri Soe: dirinya dinyatakan meninggal dunia oleh negara, meski masih hidup dan beraktivitas normal. Kasus ini menyeret nama oknum Dinas Dukcapil TTS dan Kepala Desa Mnelaanen.
Peristiwa ini bermula saat Yohanes hendak mengurus pengobatan anaknya di Kota Kupang. Namun, pihak rumah sakit menyampaikan bahwa kartu BPJS miliknya sudah tidak aktif karena sistem mencatat dirinya telah meninggal dunia.
“Saya langsung kaget. Bagaimana mungkin saya dianggap meninggal, padahal saya berdiri di situ? Setelah saya telusuri ke BPJS dan Dukcapil, ternyata akta kematian saya diterbitkan atas permintaan Kepala Desa dan dua orang saksi, tanpa sepengetahuan saya,” ujar Yohanes, Rabu (28/5/2025).
Fakta lebih mengejutkan terungkap dalam persidangan pada Kamis (22/5/2025). Elisabeth Martha Koeanan, Kabid Pengelolaan informasi Adminduk Dukcapil TTS, mengakui bahwa ia menetapkan jam kematian Yohanes dan mencetak langsung kartu keluarga dari sistem, tanpa dokumen pendukung dari desa seperti KTP atau KK.
“Yang masuk dari desa hanya surat keterangan kematian yang ditandatangani kepala desa dan dua saksi. Tidak ada tanggal, tidak ada KTP, tidak ada KK, tapi kami lengkapi sendiri datanya,” ujar Elisabeth di depan majelis hakim.
Lebih janggal lagi, akta kematian tersebut justru diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) TTS, bukan kepada pihak pemohon atau keluarga korban. Hingga kini, keluarga Yohanes bahkan belum menerima salinan resmi akta tersebut. Barang bukti akta kini telah disita penyidik Polres TTS.
Kuasa hukum korban, Narni Tamonob, SH, menilai ada kejanggalan serius dalam proses penerbitan dokumen tersebut. Ia meminta jaksa menghadirkan saksi kunci dalam sidang lanjutan pada 5 Juni 2025, termasuk mantan Kepala Dinas Dukcapil TTS, Apris Adrianus Manafe, dan perwakilan dari KPU.
“Kenapa akta kematian itu justru dikirim ke KPU? Ada kepentingan apa? Padahal jelas, yang disebut sebagai pemohon adalah kepala desa dan dua saksi,” kata Narni.
Narni juga menyoroti sikap pasif Pemerintah Kabupaten TTS yang belum menonaktifkan Kepala Desa Mnelaanen, Melkior Nenoliu, meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2024 dan kini berstatus terdakwa. Meski ancaman hukuman dalam kasus ini lebih dari enam tahun penjara, tak satu pun dari para terdakwa ditahan hingga kini.
Kasus ini dilaporkan ke Polres TTS pada 4 September 2024. Setelah sempat tidak terdengar, kasus ini kembali mencuat setelah Yohanes mendatangi langsung kantor Dukcapil, BPJS, KPU, dan Bawaslu di tingkat kabupaten hingga provinsi. Sorotan media lokal dan nasional serta viral di media sosial membuat kasus ini kembali jadi perhatian publik.
Dalam persidangan juga terungkap bahwa kasus serupa bukan hanya terjadi pada Yohanes. Saksi dari Dukcapil mengakui bahwa terdapat setidaknya 20 kasus penerbitan akta kematian yang diduga tidak sah, namun semuanya diselesaikan secara administratif tanpa proses hukum.
Kini, Yohanes berharap kasusnya menjadi momentum perbaikan tata kelola administrasi kependudukan. “Saya ingin keadilan ditegakkan bukan karena viral, tapi karena negara hadir melindungi warganya,” pungkasnya.
Editor : Danny Manu
Artikel Terkait