Kupang, iNewsAlor.id –Mantan Ketua DPRD Kabupaten Alor, Enny Anggrek, secara terbuka membongkar dugaan penyimpangan dalam pengelolaan Pokok Pikiran (Pokir) dan perjalanan dinas (SPPD) yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPRD dan pejabat eksekutif di Kabupaten Alor.
Pengakuan ini disampaikannya usai viralnya pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang meminta agar dana Pokir harus berdasarkan Aspirasi masyarakat sesuai dapil, yang disampaikan masyarakat dan dieksekusi oleh Eksekutif (Pemda), bukan legislatif atau DPRD, agar tidak menjadi masalah.
“Saya mendukung penuh pernyataan Pak Mendagri. Pokir selama ini memang menjadi sumber masalah, dan saya mengalaminya sendiri selama menjabat Ketua DPRD Alor,” ujar Enny, Minggu (22/06/2025) di Kupang.
Dana Pokir di Alor Tidak Adil
Enny mengungkap bahwa ada anggota DPRD yang mendapatkan Pokir hingga Rp 2 miliar, sementara ia sendiri tidak mendapatkan satu rupiah pun selama tiga tahun berturut-turut, meskipun menjabat sebagai Ketua DPRD.
Bahkan Ketua BK DPRD Alor, melakukan itu bukan untuk dapilnya, tetapi dapil lain, kebetulan rumahnya di situ.
“Karena saya tidak tunduk pada tekanan politik mantan bupati, saya tidak diberi Pokir sama sekali selama 2022, 2023, dan 2024,” ungkapnya.
Ia menegaskan, dana Pokir seharusnya dialokasikan secara adil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama di dapil masing-masing. Namun kenyataannya, kata Enny, pembagian Pokir justru dijadikan alat politik.
Reses Fiktif dan Modus Tanda Tangan Palsu
Selain Pokir, Enny juga membeberkan dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan reses anggota DPRD. Ia menyebut kegiatan reses sering hanya formalitas dan dilaporkan secara administratif tanpa kegiatan nyata.
“Reses bisa bernilai Rp 30 juta per anggota. Tapi dalam pelaksanaannya, kepala desa diberi Rp 2 juta untuk kumpulkan tanda tangan warga, sementara kegiatan ada tidak dilakukan,” jelas Enny.
SPPD Fiktif dan Dana KONI Menguap Saat Pandemi
Enny juga menyinggung dugaan SPPD fiktif yang terjadi di berbagai OPD, termasuk Inspektorat Daerah dan DPRD. Salah satu kasus yang ia soroti adalah anggaran Rp 2 miliar untuk KONI Alor, yang dialokasikan untuk kegiatan ke Bali saat pandemi COVID-19.
“Kegiatan tidak ada karena COVID, tapi tiket, hotel, dan biaya perjalanan tetap dicairkan. Ini jelas fiktif dan melanggar aturan,” katanya.
Gedung DPRD Tanpa Izin Multi-Year
Ia turut menyoroti pembangunan gedung DPRD baru yang dilakukan tanpa izin multi-year, dan menyebut proyek tersebut sedang dalam penyelidikan oleh aparat penegak hukum.
“Gedung DPRD itu dibangun tanpa prosedur yang sah. Ini termasuk bagian dari pelanggaran serius,” tambahnya.
Desak KPK, BPK, dan Kejaksaan Bertindak
Enny mendesak aparat penegak hukum seperti KPK, BPK RI, Kejaksaan, dan Inspektorat untuk turun tangan melakukan audit dan penyelidikan menyeluruh atas dugaan penyimpangan yang terjadi.
“Saya minta dengan sangat, semua lembaga hukum bergerak. Ini demi keadilan untuk rakyat Alor,” tegasnya.
Enny juga mengklaim bahwa hanya tiga dari total 30 anggota DPRD Alor yang dinilai tidak terlibat penyimpangan, yakni dirinya, almarhum Haji Likud, dan Ibu Nabuistalo.
Kasus Sudah Dilaporkan
Beberapa kasus yang disebutkan telah dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Kalabahi, namun hingga kini belum ada kabar lebih lanjut atau penetapan tersangka yang diumumkan ke publik, seperti Gedung DPRD dan dana KONI Alor.
Editor : Danny Manu
Artikel Terkait