Pendapatan Asli Daerah: Antara Kemandirian Fiskal dan Oportunisme Politik

Eben
Wily Mustari Adam, SE.,M.Acc - Dosen program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Katolik Widya Mandira Kupang

Opini - Wily Mustari Adam, SE.,M.Acc, Dosen program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Unwira  Kupang

 

Kupang, iNewsAlor.id - Menjelang akhir bulan Juni 2025, Gubernur NTT bertekad meningkatkan penerimaan daerah melalui upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Data menunjukkan bahwa PAD seluruh Pemda di NTT masuk dalam kategori rendah. Hal ini menimbulkan ketergantungan yang tinggi ke pusat.

Pemerintah provinsi NTT, menargetkan PAD sebesar Rp2,8 Triliun pada tahun anggaran 2025, jauh melebihi target yang ditetapkan dalam APBD murni sebelumnya. Sedangkan, Pemda kabupaten Manggarai mendorong peningkatan PAD melalui Dinas PPO dengan mengeluarkan Surat Edaran resmi yang dikeluarkan tanggal 24 Juni 2025 agar pendaftaran siswa/siswi baru (SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi) dan pengurusan administrasi lainnya wajib melampirkan pelunasan PBB-P2. Keputusan ini tentunya menuai pro kontra dan perbincangan banyak kalangan.

Dalam kerangka otonomi daerah, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi simbol sekaligus tolok ukur kemandirian fiskal suatu pemerintah daerah. PAD adalah semua penerimaan daerah yang bersumber dari potensi asli ekonomi daerah (lokal), seperti pajak daerah, retribusi, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Lebih lanjut, UU No.1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, telah mengatur kewenangan pemungutan, baik Pemda Provinsi dan kota/kabupaten.

PAD bukan hanya sekadar angka dalam laporan keuangan daerah, tetapi mencerminkan kapasitas daerah dalam membiayai pembangunan tanpa tergantung sepenuhnya pada dana transfer dari pusat. Oleh karena itu, semakin besar kontribusi PAD terhadap total pendapatan daerah, semakin kuat posisi fiskal dan politik daerah tersebut.

Namun, urgensi meningkatkan PAD sering kali mengandung dilema struktural dan politik. Di satu sisi, peningkatan PAD merupakan strategi penting untuk membiayai layanan publik secara berkelanjutan. Di sisi lain, tekanan untuk mengejar target PAD juga dapat memicu perilaku oportunis baik dari pihak eksekutif maupun legislatif. Praktik manipulatif dalam penetapan target pajak, pemberian izin usaha, hingga pemungutan retribusi yang tidak berpihak pada publik kecil merupakan cerminan dari penyalahgunaan kewenangan atas nama optimalisasi PAD.

Peran DPRD dalam konteks ini sangat strategis, tidak hanya dalam menyetujui target dan struktur PAD dalam APBD, sebagaimana fungsi anggaran, tetapi juga fungsi pengawasan dalam mengawasi cara-cara yang digunakan eksekutif dalam memobilisasi sumber-sumber pendapatan tersebut. Namun, pengawasan tersebut sering kali menjadi lemah ketika terdapat kompromi relasi agensi, dimana terdapat insentif politik atau ekonomi yang secara langsung menguntungkan DPRD atau segelintir elite lokal dari meningkatnya PAD, seperti tambahan penghasilan, tunjangan kinerja, atau pembagian proyek berdasarkan pos pendapatan yang meningkat.

Pertanyaannya: apakah PAD yang tinggi selalu mencerminkan keberhasilan? Jawabannya tidak selalu. PAD yang tinggi, namun bersumber dari pungutan yang membebani masyarakat kecil, atau dari ekspansi usaha daerah yang tidak kompetitif, justru bisa menciptakan distorsi ekonomi lokal. Karena itu, penting untuk menilai kualitas PAD, bukan hanya kuantitasnya.

Dalam politik anggaran, preferensi eksekutif dan legislatif terhadap PAD sangat ditentukan oleh insentif dan kepentingan masing-masing. Eksekutif mungkin cenderung menargetkan PAD tinggi demi menunjukkan kinerja atau memperluas ruang belanja birokrasi. Legislatif, dalam beberapa kasus, bisa menyetujui proyeksi yang optimis agar tersedia ruang fiskal lebih besar untuk alokasi aspirasi. Namun tanpa kehati-hatian, preferensi ini dapat berujung pada asumsi yang tidak realistis dan realisasi anggaran yang buruk.

 

Menata Ulang Orientasi PAD

Sudah saatnya kita menata ulang paradigma terhadap PAD. Pertama, PAD harus diarahkan untuk memperkuat kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menjadi basis fiskal semata. Kedua, insentif bagi pejabat daerah seharusnya ditautkan dengan kualitas pelayanan publik, bukan hanya peningkatan nominal pendapatan. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas dalam perencanaan dan realisasi PAD harus ditingkatkan, termasuk dengan partisipasi masyarakat sipil dan penguatan fungsi pengawasan DPRD.

Tanpa perubahan orientasi ini, PAD hanya akan menjadi ruang baru bagi eksploitasi sumber daya lokal, dan kehilangan makna sejatinya sebagai instrumen kemandirian, keadilan fiskal, dan pelayanan publik yang bermutu.

 

Editor : Danny Manu

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network