HIPGABI NTT Latih Perawat Tanggap Darurat Pada Kegawatan Jantung dan Trauma

Kupang, iNewsAlor.id – Maria Surat Tadon tak menyia-nyiakan waktunya saat mengikuti pelatihan Basic Trauma and Cardiac Life Support (BTCLS) yang digelar oleh Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (HIPGABI) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerjasama dengan Pusbangdiklat PPNI NTT.
Perawat dari Rumah Sakit Pratama Adonara, Flores Timur ini menyadari, di tengah keterbatasan alat dan tenaga medis di tempatnya bertugas, kecepatan dan ketepatan dalam menolong pasien bisa jadi penentu hidup-mati.
“Setiap hari saya berhadapan dengan pasien dalam kondisi darurat. Pelatihan ini sangat penting agar saya bisa memberi pertolongan pertama yang tepat, apalagi rumah sakit kami masih terbatas,” ujar Maria saat ditemui di sela-sela pelatihan, Kamis (29/5/2025).
Pelatihan BTCLS batch ketiga ini diikuti oleh 25 peserta, terdiri dari 24 perawat dan 1 bidan dari berbagai rumah sakit di NTT. Pelatihan berlangsung selama enam hari dengan metode blended learning—tiga hari teori secara daring dan tiga hari skill station yang diakhiri dengan ujian post test dan praktek.
Praktik Hadapi Kondisi Nyata Lapangan
Ketua HIPGABI NTT, Dominggos Gonzalves, menjelaskan bahwa pelatihan ini mengacu pada kurikulum resmi Kementerian Kesehatan RI tahun 2022, dan sangat krusial untuk perawat di lini depan layanan kesehatan.
“Ini pelatihan dasar yang wajib dimiliki semua perawat, baik di UGD, ICU, di ruangan rawat lainnya , maupun di puskesmas dan klinik. Selain jadi syarat kompetensi, BTCLS juga jadi indikator akreditasi rumah sakit,” jelas Dominggos Ketua HIPGABI NTT yang saat ini menjabat untuk periode kedua.
Servasius Ratu Banin, Ketua Panitia dan Wakil Ketua Bidang Diklat HIPGABI NTT mengatakan ada Lima stasiun praktik yang akan dipelajari oleh setiap peserta di hari pertama skill station ini, yakni: Bantuan Hidup Dasar (BHD) Dewasa, BHD Anak,Triase, Penilaian awal pasien (Initial Assessment), dan Manajemen jalan napas dan pernapasan (Airway & Breathing). Stase lainnya termasuk EKG, bebat bidai dan evakuasi - transportasi akan dilanjut di hari kedua skill station.
“Setiap peserta mendapat waktu 90 menit per stasiun, agar benar-benar paham dan terampil,” ujar Servasius Ratu Banin.
Sementara salah satu Instruktur pelatihan, Petrus Laba, menambahkan bahwa pelatihan ini dilakukan untuk mengasah kemampuan dan keterampilan peserta dalam melakukan penilaian terhadap kondisi pasien serta kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pertolongan, jadi bukan hanya sekadar teori yang dimiliki.
“Kami ajarkan bagaimana peserta langsung bisa bertindak saat hadapi korban trauma, henti napas, serangan jantung atau henti jantung dan kasus kegawatan lainnya Karena tenaga perawat selalu menjadi tenaga kesehatan yang paling pertama kontak dengan pasien dan 24 jam melakukan perawatan pada pasien,” katanya.
Dari Perawat ke Polisi dan TNI
Lebih dari sekadar pelatihan regional, HIPGABI kini mendapat mandat strategis dari Pusat Krisis Kementerian Kesehatan RI untuk menyelenggarakan pelatihan kegawatdaruratan bagi personel Polisi Lalu Lintas (Lantas) di seluruh Indonesia.
“Kami baru rapat via Zoom dengan pusat. HIPGABI diminta latih lantas di tiap Polda. Satu Polda bisa sampai 300 peserta, dibagi kelompok kecil,” ungkap Dominggos.
Tak hanya Polri, rencana itu pun diperluas menyusul usulan dari unsur TNI, khususnya TNI AL.
“TNI bertanya, ‘Kenapa hanya Polri yang dilatih?’ Akhirnya disepakati bahwa TNI juga ikut. Ini akan jadi tanggung jawab nasional HIPGABI,” tambahnya.
Pengetahuan yang Harus Dimiliki Semua Orang
Dominggos menegaskan, pelatihan kegawatdaruratan seperti BTCLS tak boleh eksklusif. Ia berharap ke depan, pelatihan ini juga menyasar masyarakat umum, termasuk ibu rumah tangga, satpam, pengemudi ojek, hingga pelajar.
“Dalam kondisi darurat, menit pertama adalah penentu hidup dan mati. Kalau ada yang bisa bantu dengan teknik dasar, peluang selamat bisa 90 persen,” tegasnya.
Ia lalu membagikan kisahnya saat membantu penumpang yang kolaps di Bandara Soekarno-Hatta.
"Saya bantu selama 10 menit sebelum tenaga medis datang. Bayangkan kalau tak ada yang tahu pertolongan dasar, bisa berakibat fatal,” ungkapnya.
Dominggos berharap, pelatihan seperti ini kelak bisa masuk ke sekolah, kantor, hingga komunitas warga, dan mendapat perhatian lebih serius dari pemerintah.
“Kita tidak tahu kapan dan di mana kondisi darurat terjadi. Lebih baik siap lebih awal daripada menyesal kemudian,” tutupnya.
Editor : Danny Manu