Hanya perlu diakui, wajah koperasi dengan sistem konvensional belum mampu menjawabi kebutuhan petani. Siklus panen tahunan, ataupun triwulan, tidak relevan dengan sistem koperasi bulanan, apalagi mingguan. Maka dari itu, Andreas berniat menginisiasi Koperasi Pertanian, yang sederhananya melakukan transaksi berdasarkan durasi waktu panen dari jenis pertanian yang digeluti. Juga bila perlu, koperasi ini menginisiasi pembayaran iuran menggunakan hasil bumi.
Namun Andreas sadar, kehadiran kedua likang diatas saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Pada hilir bisnis pertanian, kita mungkin akan mngelus dada ketika mengetahui kejamnya rantai perdagangan antarpulau. Bayangkan, riset Faperta UGM 2019, petani hanya dapat Farmer Share sebesar 53,89% dari total harga produk di hilir. Artinya, jika harga kopi 60 ribu, harga jual di rantai akhir bisa mencpai 120 ribu. Fenomena ini terkonfirmasi jika dibandingkan harga kopi kemasan per 200 gram, atau harga kopi starbuck per gelasnya.
Petani kita sangat tidak diuntungkan dengan kondisi ini. Tetapi apa daya, kita tidak punya akses lebih utk mengelolah hilir pertanian. Sektor hilir membutuhkan keahlian pengelolaan, penggunaan teknologi tepat guna, serta teknis-teknis bisnis yang terintrgrasi. Dari data yang sama, hanya 18,7% petani yang masuk ke industri pasca panen. Geliatnya sudah ada, seperti industri Kopi di Colol, misalnya.
Maka dari itu, persoalan ini membutuhkan peran likang ketiga, yakni hilirisasi/industri pengelolaan pasca panen secara masif.
Sejauh ini, upaya di likang ketiga dimulai dengan membangun ruas jalan yang membelah wilayah tengah Manggarai Timur. Sempat tertatih-tatih ditengah pandemi covid yang merefocussing 60% APBD, Andreas Agas menginisiasi dana pinjaman daerah. Langkah ini merupakan bentuk komitmen pembangunan. “Seperti seorang ibu yang sedang sakit, sang ayah harus meminjam uang utk tetap menjaankan roda ekonomi rumah tangga.”
Editor : Danny Manu