Kredit Macet Bank NTT: Pengamat Soroti Lemahnya Pengawasan Komisaris dan Butuh Direksi Eksternal

Kupang, iNewsAlor.id – Proses pemilihan jajaran direksi dan komisaris Bank NTT dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB), Rabu (14/05/2025) menuai kritik dari kalangan akademisi.
Wilhelmus Mustari Adam, SE.,M.Acc, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, menyampaikan sejumlah catatan penting terkait dinamika internal bank milik pemerintah daerah tersebut.
Wilhelmus, yang juga tengah menempuh studi doktoral (Candidate) Program Doktor Ilmu Akuntansi Sektor Publik di Universitas Brawijaya Malang, menilai bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus menjalankan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) secara objektif terhadap calon direksi dan komisaris yang diajukan.
“Saat ini muncul dua nama sebagai kandidat Direktur Utama, yakni Charli Paulus dari eksternal dan Yohanes Umbu Praing dari internal. Siapa pun yang memenuhi syarat, baik dari dalam maupun luar, tidak masalah" Ujarnya.
Olehnya, harus dinilai secara profesional oleh OJK baik Direksi maupun komisaris harus memiliki target dan pengukuran kinerja (KPI) yang jelas, sehingga menjadi dasar komitmen pengembangan bank NTT kedepan dan dasar bagi pemegang saham dalam melakukan evaluasi kinerja setiap tahun dalam RUPS.
Wilhelmus juga menambahkan Model pengukuran kinerja yang relevan dengan Balancescorcard (BSC), memiliki empat perspektifnya, antara lain perspektif financial, pelanggan, bisnis internal, dan pemberlajaran/pertumbuhan. Keempat perspektif pengukuran kinerja ini harus dapat dikuantifikasi agar dapat terukur secara jelas, ujar Wilhelmus kepada iNewsAlor.id, Sabtu (17/5/2025).
Ia menegaskan, OJK bukan sekadar lembaga yang memberikan stempel persetujuan, tetapi memiliki tanggung jawab memastikan calon yang memiliki integritas diri,dengan menggali informasi secara menyeluruh sebelum memberikan rekomendasi kepada pemegang saham.
“OJK itu hanya memberikan rekomendasi. Penilain dan keputusan akhir pada pemegang saham. Karena itu, penilaian terhadap calon tidak boleh sekadar berdasarkan tampilan luar, tetapi harus obyektif dan menyeluruh,” katanya.
Dorong Direksi Eksternal, Ditengah Kredit Macet.
Menurut Wilhelmus, munculnya nama dari luar Bank NTT menunjukkan adanya keterbukaan terhadap pembenahan manajemen. Ia menilai, sosok dari eksternal seperti Charli Paulus bisa menjadi opsi strategis di tengah banyaknya persoalan yang belum terselesaikan pada Bank NTT, termasuk soal kredit macet (NPL).
“Mungkin saat ini Bank NTT memang butuh figur dari luar untuk memperbaiki manajemen. Banyak persoalan lama seperti kredit macet yang belum dituntaskan,” ujarnya.
Dana KUB Rp400 Miliar Belum Terealisasi
Wilhelmus juga menyoroti kerja sama Bank NTT dalam skema Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang dinilai belum berjalan optimal. Ia mengungkapkan bahwa dana sebesar Rp400 miliar yang seharusnya masuk ke Bank NTT belum terealisasi sepenuhnya.
“Dari rapat dengar pendapat di Komisi III DPRD NTT tahun lalu, dana yang akan terealisasi sekitar Rp50 miliar. Masuknya dana ini mestinya terbaca dalam neraca bank NTT. Diduga, dana itu belum masuk ke bank NTT seoenuhnya,masih berputar di wilayah lain seperti Jawa Timur dan menghasilkan keuntungan di sana. Ini patut dipertanyakan,” ungkapnya.
Ia menilai situasi ini sebagai potensi kejahatan perbankan yang harus menjadi perhatian dalam RUPS-LB. Menurutnya, pembenahan Bank NTT tidak bisa hanya berfokus pada penetapan direksi, melainkan juga harus menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang belum terselesaikan.
Pengawasan Lemah, Komisaris Harus Diperkuat
Dari sisi pengawasan, Wilhelmus menilai peran komisaris selama ini masih lemah dan belum optimal. Padahal, komisaris merupakan representasi pemilik saham untuk menjalankan tugas pengawasan terhadap direksi ( manajemen), agar implementasi perencanaan berjalan sesuai dengan harapan pemegang saham, yakni pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
“Komisaris itu seperti DPRD dalam organisasi pemerintahan. Mereka menjalankan tugas sebagai peran pengawasan terhadap eksekutif (manajemen), bukan malah bernaung di bawah direksi. Kalau pengawasannya lemah, ruang terjadinya moral hazard akan terbuka,” tegasnya. Dengan demikian, dengan kompleksitas operasional bank NTT saat ini, berharap urgen penguatan pengawasan( controlling) melalui peran komisaris.
Ia menyebut bahwa praktik korupsi, temasuk dalam sektor perbankan, bisa muncul karena adanya tiga faktor: kesempatan, tekanan, dan rasionalisasi. Untuk itu, memperkuat fungsi pengawasan oleh komisaris dinilainya sangat penting dan mendesak, agar agency problem dapat diminimalisir.
“Kalau kontrol lemah, maka integritas pun bisa runtuh. Jadi penguatan fungsi pengawasan oleh komisaris itu mutlak,” tandasnya.
Mantan Ketua Program Studi Akuntansi FEB Unwira Kupang ini juga berharap para komisaris yang baru saja terpilih melalui RUPS-LB, tidak mengulang kelemahan yang dilakukan oleh pendahulu mereka.
Editor : Danny Manu