Antara RUPS dan OJK: Menyoal Mekanisme Pengangkatan Direksi Bank NTT

Opini - Wily Mustari Adam dan Yohanes Rumat, Warga Kota Kupang
Kupang, iNewsAlor.id - Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur (Bank NTT) yang diselenggarakan pada Rabu, 14 Mei 2025, menjadi sorotan publik setelah gagal menghasilkan keputusan pengangkatan jajaran direksi dan komisaris. Kabarnya, penetapanya diserahkan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang juga melakukan _fit and proper test_. Idealnya, pengangkatan jajaran direksi dan komisaris di RUPS, setelah mendapatkan rekomendasi hasil uji kelayakan dan kepatutan dari OJK. Fenomena ini memunculkan pertanyaan mendasar tentang mekanisme pengangkatan pimpinan bank daerah dan batas kewenangan antara RUPS dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam RUPS tersebut, delapan posisi strategis yang seharusnya diisi, antara lain 1 orang Direktur Utama, 3 orang Direksi lainnya (mencakup direktur dana, direktur kepatuhan, dan direktur Treasury dan keuangan), serta 4 orang Komisaris (1 komisaris utama dan 3 orang komisaris independen). Hasil akhir RUPS hanya berakhir dengan pengusulan nama-nama kandidat kepada OJK. Keputusan final pengangkatan diserahkan kepada lembaga pengawas tersebut setelah proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Praktik ini menimbulkan tanda tanya besar tentang pemahaman dan implementasi tata kelola perusahaan yang benar.
Secara regulasi, pembagian kewenangan antara RUPS dan OJK telah diatur secara jelas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, RUPS memiliki kewenangan tertinggi dalam menentukan arah perusahaan, termasuk mengangkat dan memberhentikan direksi serta dewan komisaris. Sementara itu, UU Perbankan dan POJK No. 27/POJK.03/2016 memberikan mandat kepada OJK untuk melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon direksi dan komisaris, bukan menetapkan mereka. Pasal 2 dalam PJOK tersebut berbunyi calon pihak utama wajib memperoleh persetujuan dari OJK sebelum menjalankan tindakan,tugas, dan fungsinya sebagai pihak utama. Pihak utama yang dimaksud, untuk perbankan, mencakup PSP, anggota dewan direksi, dan dewa komisaris.
Hingga tulisan ini dibuat, tidak ada peraturan baru dari OJK yang mengubah tata cara pengangkatan direksi perbankan, termasuk untuk Bank Pembangunan Daerah seperti Bank NTT. Mekanisme yang semestinya adalah RUPS menetapkan calon direksi dan komisaris, yang kemudian efektif menjabat setelah memperoleh persetujuan dari OJK melalui proses _fit and proper test_.
Penyerahan kewenangan penetapan direksi dari RUPS kepada OJK tidak hanya berpotensi menciptakan preseden buruk dalam tata kelola perusahaan, tetapi juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pertanyaannya, apa yang mendorong RUPS Bank NTT untuk tidak menjalankan kewenangannya secara penuh?
Beberapa kemungkinan dapat diidentifikasi. _Pertama_, adanya kesalahpahaman tentang batas kewenangan antara RUPS dan OJK. _Kedua_, upaya untuk menghindari tanggung jawab dalam pengambilan keputusan strategis, dengan menjadikan OJK sebagai "tameng" jika terjadi permasalahan di kemudian hari. _Ketiga_, adanya kepentingan-kepentingan tertentu yang berusaha mempengaruhi proses pengangkatan melalui jalur OJK.
Bank NTT sebagai institusi finansial dengan aset lebih dari Rp17 triliun memiliki peran strategis dalam perekonomian daerah. Berbagai permasalahan yang masih dihadapi, termasuk tingkat NPL (Non-Performing Loan) yang perlu dikendalikan, membutuhkan kepemimpinan yang kuat dengan legitimasi yang tidak diragukan. Ketidakjelasan dalam proses pengangkatan direksi dapat berdampak pada kepercayaan publik dan stabilitas bank itu sendiri.
Pembelajaran penting dari kasus ini adalah perlunya pemahaman yang komprehensif tentang tata kelola perusahaan dan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. Para pemangku kepentingan Bank NTT, terutama pemegang saham yang terdiri dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, perlu menyadari tanggung jawab mereka dalam mengambil keputusan strategis melalui forum RUPS.
Di sisi lain, OJK sebagai lembaga pengawas juga memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa bank-bank yang diawasi memahami dengan benar batas kewenangan masing-masing pihak. Sosialisasi dan edukasi tentang tata kelola perusahaan perbankan perlu diperkuat untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman serupa di masa mendatang.
Lebih jauh, kasus ini juga menunjukkan pentingnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan strategis di lembaga keuangan. Publik, terutama nasabah Bank NTT, berhak mengetahui bagaimana proses pengangkatan pimpinan bank dilakukan dan apakah prosedur yang ditempuh sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Ke depan, RUPS Bank NTT perlu menjalankan kewenangannya secara bertanggung jawab sesuai dengan mandat yang diberikan oleh undang-undang. Pengangkatan direksi dan komisaris harus dilakukan melalui mekanisme yang benar, dimana RUPS menetapkan dan OJK melakukan penilaian kelayakan dan kepatutan. Dengan demikian, tata kelola yang baik dan kepatuhan terhadap regulasi dapat dijaga, sehingga Bank NTT dapat terus tumbuh secara berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Semoga Bermanfaat.
Editor : Danny Manu